Sabtu, 19 Oktober 2013
9 KEBIASAAN ORANG-ORANG JEPANG
03.45
No comments
Menginjak
hampir tiga bulan saya di Jepang, pelan-pelan saya mulai mengenali
kebiasaan-kebiasaan orang sini. Meskipun pada awalnya kebiasaan itu dirasa
cukup “bertentangan” dengan kebiasaan orang Indonesia kebanyakan, tapi akhirnya
saya memakluminya juga. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
Bagaimanapun juga, saya harus bisa memahami kebiasaan-kebiasaan mereka. Sampai
sejauh ini, ada beberapa kebiasaan orang Jepang yang menurut
rizaldp.wordpress.com menarik untuk diketahui.
1.
Mempertahankan bahasa lokal
Ada yang
menarik dari kebiasaan ini. Konon, kabarnya orang Jepang memiliki kemampuan
bahasa Inggris yang buruk, jadi mereka kerap berbicara dengan bahasa Jepang,
sekalipun itu terhadap orang asing. Pernah pada suatu waktu, meskipun mereka
tahu bahwa saya orang asing, mereka tetap menggunakan bahasa Jepang ketika
memulai percakapan. Alhasil, saya hanya bisa bengong-bengong saja. Ketika saya
bilang tidak mengerti, mereka tetap mencoba meyakinkan, dengan tetap
menggunakan bahasa Jepang.
Begitu juga
ketika di supermarket dan tempat-tempat umum lainnya. Setiap kali orang Jepang
bertanya dan berkomunikasi, seringkali mereka menggunakan bahasa Jepang. Apa
mereka tidak tahu bahwa saya ini orang asing? Bahwa bahasa Jepang bukanlah
bahasa Ibu saya. Jadi, meskipun kepada orang asing, orang Jepang kebanyakan
tetap menggunakan bahasa lokal mereka.
Menurut yang
saya amati, orang Indonesia beda lagi. Meskipun kurang paham bahasa Inggris,
tapi orang Indo tetap berusaha berbicara bahasa Inggris kepada orang asing,
meskipun itu terbata-bata. Saya teringat ketika di Bromo dulu, pernah ada supir
Elf yang berani berbicara bahasa Inggris kepada turis. Setidaknya, kita bisa
menghargai bahasa yang mereka pergunakan. Ini menandakan bahwa orang Indonesia
sangat terbuka kepada orang asing.
Selama saya
kuliah disini, saya juga intensif mengikuti kursus bahasa Jepang (fasilitas
kampus). Saya sempat berpikir bahwa setiap orang asing (status sebagai student,
entah jika statusnya lain) yang masuk Jepang, rata-rata diajarkan bahasa
Jepang. Jadi, orang asing tersebut seperti di-”naturalisasi” dan harus bisa
berbahasa Jepang. Sedangkan di Indo, saya tidak tahu apakah setiap mahasiswa
asing diberi fasilitas juga untuk belajar bahasa Indonesia? Atau, orang Indo
yang katanya sangat ramah, jadi biarlah yang berlelah-lelah belajar bahasa
Inggris?
2. Santun
Benarkah
orang Indonesia itu santun-santun? Saya sangsi karena saya tidak diberi jalan
saat akan menyeberang, saya ragu karena ketika jalanan macet tidak ada yang mau
mengalah. Tapi, selama di Jepang, saya benar-benar merasakan kesantunan itu.
Menyeberang jalan dengan rasa aman karena tahu mobil tidak akan mendahului
sepeda. Mobil tidak akan mendahului sepeda motor, sepeda motor mengalah pada
pesepeda, dan pesepeda takluk pada pejalan kaki. Ya, pejalan kaki adalah raja
jalanan!
Saya pernah
ketika akan menyebrang, ada mobil yang menunggu di depan saya. Tak tahunya,
ternyata dia menunggu saya menyeberang terlebih dulu. Tapi, karena sedang
menunggu, saya persilakan mobil itu untuk lewat duluan. Dan … orang dalam mobil
itu langsung memanggutkan kepalanya tanda sangat berterimakasih. Luar biasa
kesantunan yang saya rasakan. Bahkan, ketika saya lewat di depan orang yang
sedang mencabut rumput, orang itu mengucapkan maaf setelah saya bilang permisi.
Mungkin dia merasa telah menghalangi jalan orang lain. Entahlah, yang saya
dengar hanyalah omelan ketika ini saya lakukan di Indonesia.
Di sini,
membunyikan klakson adalah pertanda bahaya. Klakson hanya dibunyikan pada
saat-saat genting, di luar itu tidak boleh membunyikan klakson. Makanya, suasana
jalanan tidak berisik.
3. Gemar
olahraga
Ini juga
membuat saya salut. Betapa tidak, saat pulang dari kampus sekitar jam 19.30
JST, saya berpapasan dengan orang Jepang yang sedang jogging. Padahal, cuaca
saat itu sedang dingin dan saya pikir paling enak kalau diam di rumah. Dan,
sebagai orang Indo, tentu saja saya merasa “aneh” dengan kebiasaan olahraga
malam-malam ini. Masih mending jika olahraga futsal atau yang dilakukan secara
tim. Tapi, kalau dilakukan sendirian dan malam-malam, rasanya “aneh”. Dan ini
merupakan kebiasaan orang Jepang yang harus saya maklumi.
Dan
kemana-mana, cukup banyak juga mahasiswa Jepang yang suka memakai celana
training. Entahlah, apa dia sehabis olahraga atau tidak. Bahkan, ketika di
kelas pun, ada saja yang memakai celana training. Entah apakah ada hubungan
antara celana training mereka dan olahraga. Memang orang Jepang tidak suka jika
tidak bergerak. Bahkan, orang tua pun gemar berolahraga. Saya sering melihat
para orang tua yang suka mengajak jalan-jalan anjing mereka ke taman-taman.
Maka, jangan heran jika kita bertanya kepada mereka siapa saja anggota
keluarganya, mereka akan menghitung anjing-anjing mereka.
Dan fakta
menarik, olahraga yang paling beken di Jepang adalah baseball. Itulah mengapa,
jika di kartun-kartun, olahraga yang sering dijadikan figuran adalah baseball.
Masih ingat tayangan Doraemon? masih ingat ketika Giant selalu mengajak main
baseball kepada Nobita dan Suneo? Dan bagi orang Indonesia, baseball bukanlah
hal yang umum. Orang Indonesia lebih familiar dengan sepakbola dan badminton,
benar?
Mensana in
corpore sano. Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat. Mungkin
bangsa Jepang menjadi disegani karena mereka memiliki ketangguhan SDM-nya. Dan
jangan kita remehkan, olahraga bisa menjadi titik awal. Bukankah Rasulullah saw
juga telah bersabda bahwa muslim yang kuat lebih dicintai daripada muslim yang
lemah? Dan Rasulullah saw telah mengajarkan kita berolahraga dengan memanah,
berenang, dan menunggang kuda? Jepang bukanlah negara muslim, tapi mereka paham
betul akan kesehatan jasmani ini.
4. Tidak
suka basah
Tidak suka
basah dalam artian ketika sedang di kamar kecil. Setiap kamar kecil sepertinya
sudah memiliki grand-design nya. Didesain dengan konsep kering dan serba
otomatis. Tentu ini menyulitkan saya yang lebih terbiasa dengan toilet basah
seperti di Indonesia. Dan ini juga menyulitkan bagi yang muslim, karena kita
harus ber-istinja (bersuci, membasuh) dengan air. Bahkan, salah seorang sensei
menanyakan apakah ada toilet kering ketika akan ke Indonesia. Mengingat
kebanyakan toilet di Indonesia sifatnya basah.
Jadi, akan
sangat sulit jika kita meniatkan untuk mandi di kampus, karena toilet di tempat
umum tidak didesain untuk mandi. Bagaimana bisa mandi, lantai basah sedikit
saja langsung dikeringkan oleh janitor. Untuk berwudhu, kami biasa berwudhu
dari wastafel jika sedang di kampus. Dan jika lantai sampai basah, cepat-cepat
kami keringkan. Namun, syukurlah, lama-kelamaan kami sudah mulai terbiasa.
5. Makan
banyak tapi tetap langsing
Selama saya
di Jepang, saya jaraaaaang sekali melihat orang Jepang yang gemuk. Rata-rata
berbadan kurus dan proporsional. Malah menurut saya, lebih banyak yang kurus.
Mungkin ada hubungannya dengan kebiasaan gemar olahraga di atas. Paling banter
berbadan gempal, itupun bisa dihitung dengan jari.
Padahal,
ketika teman saya sedang party lab-nya, dia hanya bisa makan sampai 10 tumpuk
piring sushi (1 piring 2 sushi). Sedangkan teman Jepangnya, malah sampai habis
30 piring. Tapi, anehnya badannya tetap saja kurus. Saya tidak tahu, mungkin
karena memang makanan orang Jepang kebanyakan mengandung protein. Atau juga
mungkin karena metabolisme orang Jepang lebih baik ketimbang orang Indonesia
yang sekali makan, berat badannya langsung cepat naik. Mungkin juga masalah
gaya hidup?
6. Tidak
biasa bersalaman
Awal-awal
berkenalan dengan orang Jepang, saya selalu membawa kebiasaan saya sewaktu di
Indonesia, yaitu menyodorkan tangan sebagai tanda membuka perkenalan (khusus
sesama jenis). Tapi, ternyata sodoran tangan saya dibalas dengan anggukan
kepala dan bungkukan badan. Kontan, saya pun mengikuti gerakan lawan bicara
saya tersebut, dan akhirnya tidak jadi salaman.
Secara umum,
perkenalan biasanya selalu diiringi dengan salaman. Tapi, di Jepang lain lagi,
kita tidak perlu menyodorkan tangan. Yang kita perlukan hanya menyebutkan nama,
kemudian membungukukkan badan sembari mengucapkan yoroshiku onegai shimasu.
Kebiasaan orang Jepang yang satu ini sangat menguntungkan umat muslim, terlebih
lagi saat berhadapan dengan orang yang bukan mahrom (boleh dinikahi).
Kalau kita
di Indonesia, ketika akan salaman dengan orang yang bukan mahrom, biasanya kita
akan merapatkan telapak tangan kita dan memposisikannya di depan dada. Dengan
begitu, lawan bicara kita akan mengerti. Namun, jika kita berhadapan dengan
orang asing yang belum tahu, kita akan kesulitan untuk menjelaskan. Dan
kemungkinan akan terjadi kesalah-pahaman jika tidak ada komunikasi yang baik.
Biasanya, lawan bicara kita akan menyodorkan tangan, lalu kita balas dengan
salam “ala lebaran”.
Untuk ucapan
terimakasih pun, orang Jepang tidak biasa bersalaman. Biasanya mereka akan
membungkukkan badan, atau minimal menganggukkan kepala. Ukuran besar-kecilnya
rasa terimakasih orang Jepang bisa kita lihat dari bungkukan badannya. Semakin
membungkuk tandanya ia sangat berterimakasih. Anggukan kepala biasanya untuk
ucapan terimakasih biasa.
Bedanya
dengan orang Indonesia, kalau kita merasa berterimakasih, kita akan menyalami
lawan bicara kita dengan kedua tangan. Dan kemudian biasanya langsung memeluk
lawan bicara. Tapi, sekali lagi, di Jepang lain lagi ceritanya. Jadi, sebagai
pendatang, kita mau-tidak mau akan mengikuti kebiasaan mereka, meskipun hal
tersebut dianggap kecil.
7. Budaya
mengantri
Jangan
sampai kebiasaan buruk kita di Indonesia terbawa sampai ke Jepang, yaitu budaya
menerabas! Orang-orang Jepang sangat loyal terhadap peraturan dan santun kepada
orang lain, termasuk untuk urusan
mengantri. Antri sudah menjadi budaya disiplinnya orang-orang Jepang. Kita
(pendatang) sudah harus ngeh dengan budaya antri mereka, jangan sampai kita
membuat malu di negeri orang.
Beda kota,
bisa berbeda juga budaya yang dianut masyarakatnya. Di Osaka, jika sedang
menggunakan eskalator, sebaiknya gunakan sisi sebelah kanan bagi yang tidak
terburu-buru dan mempersilakan sisi kiri bagi mereka yang ingin bergegas.
Sedangkan di Tokyo (dan sebagian kota lain), jalur lambat ada di sebelah kiri
dan jalur bergegas di sebelah kanan. Hati-hati, jangan sampai kita menghalangi
jalan orang lain. Orang Jepang sendiri terlihat begitu menyesali diri jika
mereka sampai menghalangi jalan orang lain.
Cerita lain
lagi, dalam suatu perjalanan, pernah saya terjebak dalam kemacetan yang
panjang. Saya pun heran, baru kali itu saya merasakan macet sedemikian
panjangnya. Saya kira di Jepang bebas macet, kemudian saya tahu bahwa ada
kecelakaan yang menjadi penyebab kemacetan itu. Tapi, betapa elegan-nya
orang-orang Jepang dalam berlalu-lintas. Ya, mereka tetap berada dalam antrian
kendaraan yang seharusnya.
Benar-benar
membuat saya kagum. Betapa tidak, saya bisa membayangkan suasana kemacetan di
Indonesia yang bising dengan suara klakson; antar pengemudi tidak ada yang mau
saling mengalah; dan perilaku mental menerabas lainnya. Tapi, lihatlah foto di
atas, sama sekali tidak ada yang menerabas dari sisi kiri; dan juga tidak ada
kebisingan klakson. Benar-benar patut kita teladani.
8. Jari-jari
huruf “V” saat dipotret
Coba Anda
minta foto bersama orang Jepang, atau menyuruh mereka bergaya saat akan
dipotret. Hampir selalu jari-jari mereka langsung bergaya “V” sambil
menyunggingkan senyum terbaik. Saya, orang Indonesia, jadi ikut-ikutan bergaya
seperti orang Jepang saat dipotret, hehe. Maklum, terkontaminasi budaya lokal.
Tentu kita
dapat dengan mudah menebak apa maksud dari jari-jari mereka. Ya, itu perlambang
“peace” – kedamaian. Tapi, bagi orang Jepang sendiri, jari-jari “V” adalah
perlambang kebahagiaan. Jadi, jika mereka menggunakan gaya tersebut saat
dipotret, itu artinya mereka ingin menunjukkan kebahagiaannya. Bukan berarti
bagi yang tidak itu tidak bahagia, hehe..
9. Risih
duduk bersebelahan
Kebiasaan
ini sebenarnya saya tahu dari sensei nihonggo. Memang, sensei saya yang satu
ini sesekali suka bercerita tentang Jepang dan rupa-rupinya. Mulai dari agama
yang dianut, berbelanja, tempat-tempat di Jepang, sampai kebiasaan orang Jepang
sehari-hari. Waktu sensei saya bertanya, sebagai orang Indonesia, bagaimana
posisi duduk yang lazim jika sedang mengobrol bersama teman.
Bagi saya,
saya lebih nyaman untuk duduk bersebelahan dengan teman saya ketika ngobrol.
Saya merasa lebih bebas dan tidak canggung. Karena dengan begitu, kita bisa
menjadi lebih santai. Justru saya merasa risih jika duduk berhadap-hadapan.
Entah kenapa, rasanya risih saja, karena dengan posisi tersebut, mata kita
dipaksa untuk terus beradu pandang.
Tapi,
kebiasaan orang Jepang lain lagi. Justru mereka risih jika duduk bersebelahan.
Mereka lebih memilih duduk berhadap-hadapan. Jika sedang ke kantin, restoran,
atau perpustakaan, saya memang tidak melihat orang Jepang yang duduk
bersebelahan. Semuanya duduk berhadap-hadapan. Jikapun ada orang yang duduk
disampingnya, bisa jadi karena keterbatasan kursi atau memang harus duduk
dengan posisi seperti itu (seperti di bis, kereta).
Jadi, jangan
heran jika di restoran, kantin, atau perpustakaan, orang Jepang rata-rata duduk
berhadap-hadapan. Pernah suatu saat, saya meminta teman Jepang saya untuk
latihan percakapan bahasa Jepang. Kemudian, kami mencari-cari tempat yang pas
hingga akhirnya kami menemukan dua bangku panjang yang berhadap-hadapan.
Sebagai orang Indo, saya tentu terbiasa untuk duduk bersebelahan. Tapi, pada
saat saya akan duduk di samping teman saya itu, saya malah diminta untuk duduk
di hadapannya. Dia langsung mempersilakan saya sembari menunjuk kursinya.
Dan saat
itu, saya langsung ingat tentang cerita sensei nihonggo saya bahwa orang Jepang
lebih terbiasa duduk berhadap-hadapan ketimbangan bersebelahan, strange katanya
0 komentar:
Posting Komentar