Bisa jadi, saya telat memunculkan review ini, karena tak hanya format tersebut saja yang telah tayang sejak kemarin, 4 Oktober 2013, namun juga format standar, 3D, dan 4DX yang menjadi primadona baru bagi para penikmat film di ibukota. Well, Gravity sebenarnya bukanlah sci-fi, tapi karena jalan ceritanya ber-setting di luar angkasa, jadi terasa bak ikut mewakili genre tersebut.
Dan, butuh waktu bagi saya untuk benar-benar meresapi film tersebut untuk pada akhirnya bisa menyebutkan kata-kata berikut ini. Begitulah, Gravity bukanlah film paling terbaik yang pernah ada hingga saat ini. Sorry for that. Berkat hype dan ekspektasi yang membuncah kala menontonnya pada kali pertama, mungkin saya juga terbutakan dengan segala hal yang proporsional.
Telah enam tahun terlewat sejak Alfonso Cuarón mengusung sci-fi ke dunia modern lewat Children of Men. Dan, hanya sedikit detil plot mengenai Gravity yang beredar di sana dan sini semenjak itu. Pertama kali, kita mendengar bahwa Angelina Jolie dan Robert Downey Jr. akan dilibatkan namun keduanya belakangan hengkang. Lalu, akhirnya premis Gravity pun sedikit terdengar.
Protagonisnya akan mengambang di luar angkasa. Yep, hanya itu. Lalu, Sandra Bullock dan George Clooneyresmi menjadi kedua pemeran utamanya. Kemudian, hampir semua sutradara film-film cult ikut menjadi backupuntuk Cuarón. Ada nama David Fincher, James Cameron, Guillermo del Toro, sampai Alejandro González Iñárritu di antara mereka yang urun rembug untuk Gravity.
Dalam hitungan hampir lima tahun, sebuah teknologi baru pun dikembangkan Cuarón bersama para pemikir dariFramestore, sebuah studio FX yang pernah menyumbangkan sekuens animasi memikat dalam Harry Potter and the Deathly Hallows. Bukan kebetulan pula bahwa yang menyambungkan relasi di antara mereka adalah produser ternama dari serial Harry Potter, David Heyman.
Jika terlupa, Cuarón memang pernah menggarap salah satu serinya, Harry Potter and the Prisoner of Azkaban, yang merupakan salah satu seri Harry Potter terbaik menurut saya secara pribadi. Kembali ke Gravity, melalui perantara teknologi tadi, akhirnya Cuarón mampu mewujudkan jalan cerita, yang telah dikembangkannya dengan sang putera, Jonas Cuarón, dari setting gurun jadi ke luar angkasa.
Tak pelak, beberapa kalangan akan membandingkannya dengan gaya yang dianut Stanley Kubrick melalui 2001: A Space Odyssey. Bahkan, beberapa hal yang trivial sekaligus homage memang tampil dalam Gravity, hingga membuatnya terasa bagaikan sebuah mahakarya tersendiri. Lalu, benarkah film ini bukanlah paling terbaik yang pernah ada hingga saat ini? Janganlah terlalu apatis.
Gravity mungkin bukanlah film paling terbaik yang pernah ada, namun film ini mampu memberikan visualiasi yang mengagumkan dan hampir-hampir tak bisa dipercaya –yang perlu kalian ketahui, amatlah menyiksa Bullock dalam menjalani proses produksinya– dan salah satu film terhebat yang mampu memenuhi hampir seluruh ekspektasi, yang muncul di benak saya sejak mengetahuinya.
Secara jelas, film ini tak hanya akan membuat protagonisnya mengambang di luar angkasa seperti yang terdengar sebelumnya, dan mungkin diyakini oleh beberapa kalangan. Sekuens pembukanya sendiri sudah terasa mengagumkan. Tampil bak sebuah dokumenter luar angkasa, yang melibatkan teleskop luar angkasaHubble dan take panjang sekitar belasan menit yang sama sekali tak diedit.
Kita diperkenalkan pada tiga astronot yang mengitari Hubble demi menyelesaikan tahap akhir dari misi mereka. Namun, fokus akan diarahkan pada dua astronot. Clooney berperan sebagai Matt Kowalski, seorang astronot veteran yang ceria, cenderung cerewet, dan sedang berusaha untuk mematahkan rekor untuk lama masa kerja di luar angkasa yang terjadi hingga kini.
Sementara Bullock berperan sebagai Dr. Ryan Stone, seorang ahli medis yang suram, pendiam, dan baru menjalani misi pertamanya untuk melakukan instalasi atas perangkat yang dikembangkannya sebagai bagian terbaru dari Hubble. Setelah sekuens pembuka yang berjalan dengan perlahan itu, plot akan berubah drastis dengan kabar mengenai hancurnya sebuah satelit Rusia.
Mungkin diledakkan sendiri oleh negara tersebut demi sebuah rahasia, nyatanya puing-puing satelit itu mengobit Bumi. Bukan kebetulan bahwa Kowalski, Stone, dan awak pesawat ulang-alik Explorer sedang berada di orbit Bumi untuk sebuah misi terkait Hubble tadi. Dan, bukan kebetulan juga bahwa ada sindrom Kessler, yang terjadi dan mengakibatkan reaksi berantai setelah ledakan tadi.
atelit-satelit bertabrakan dan puing-puing, yang berkecepatan seperti peluru yang ditembakkan, pun makin banyak dan mengarah ke mereka. Meski misi serta merta dibatalkan, para astronot bergerak cepat untuk kembali ke Explorer, namun kecepatan pergerakan mereka kalah jauh dengan kecepatan puing-puing tadi mengorbit Bumi. Semuanya pun memburuk, dan makin memburuk.
Pijakan yang dipergunakan Stone patah dan melemparkan dirinya ke luar angkasa. Dia pun harus menguatkan dirinya untuk mendengarkan instruksi-instruksi dari Kowalski untuk bisa saling bekerja sama demi satu-satunya tujuan yang tertinggal, kembali ke Bumi dalam kondisi hidup. Lalu, saya pun harus menyudahi spoiler sampai di situ. Ketegangan itu sebaiknya dialami sendiri saat menonton.
Saya sempat ditanyai seorang teman, mungkinkah Gravity meraih Oscar? Dalam kategori teknis, saya berani mengatakan ‘Iya.’ This film is a game-changer. Berikanlah penghargaan Best Visual Effects saat ini juga keGravity. Saat menontonnya dalam format IMAX, kita seperti secara langsung merasakan dan meyakini bahwa memang kita yang mengambang di setting luar angkasa.
Baik latar gelap penuh bintang atau pun Bumi yang terlihat separuh bundar dengan awan-awannya itu terasa mengagumkan. Kita tak hanya menyaksikan karakter-karakternya melayang dan ketakutan dengan senyapnya luar angkasa, namun kita juga ‘mengalaminya’ bersama mereka. Secara imersif, Gravity mampu melakukan hal itu. Sejumlah POV yang diusung Cuarón pun sangatlah mendukung.
Terkesan memusingkan, melumpuhkan, hingga membuat tarikan nafas jadi tercekat. Belum pernah ada film yang mampu memberikan perspektif yang begitu dalam mengenai luar angkasa seperti halnya Gravity. Dan, oleh karena itu juga, Gravity –setelah diresapi– nyatanya tak ingin membebani penonton dengan plot yang berat mau pun kompleks. Yep, this isn’t a thinking movie by chance.
Kita hanya akan mengikuti kisah survival, yang sebenarnya sudah cukup usang di jagat perfilman mana pun, mengenai karakter-karakter yang berharap dapat menemukan solusi dengan melewati segala halangan yang ada. Untungnya, Gravity memiliki Clooney dan –paling terutama– Bullock di dalamnya. Performa mereka mampu mengenyahkan kelemahan-kelemahan yang mungkin terjadi.
Hanya karena kisahnya telah usang, bukan berarti harus mengorbankan sisi emosionalnya, bukan? Gravityadalah contoh terbaik bahwa melibatkan bintang-bintang film bagus yang old-fashioned di dalam film merupakan kelebihan tersendiri. Meski menampilkan set piece dan teknologi yang bisa jadi tak ada bandingannya di saat ini,Gravity tetaplah mengedepankan para penonton awam.
Film ini melakukannya dengan penggunaan naratif yang mudah dicerna, dan lebih berfokus pada karakter-karakternya. Di sanalah, Gravity lebih bersinar. Benar-benar kisah yang menawan tentang insting dasar manusia untuk hidup, yang membuat para penontonnya terbawa dalam ketegangan dan jadi sangat-sangat berharap agar karakter-karakternya tetap bisa hidup hingga akhir film.
Overall, Gravity merupakan sebuah film yang benar-benar sensasional, dan berbeda dengan film-film lainnya. Sebuah paket sinematik lengkap, yang patut ditonton di layar lebar
Sutradara: Alfonso Cuarón Penulis: Alfonso Cuarón, Jonás Cuarón Produser: Alfonso Cuarón, David Heyman Pemain: Sandra Bullock, George Clooney, Ed Harris, Orto Ignatiussen, Paul Sharma, Amy Warren, Basher Savage Studio: Esperanto Filmoj, Heyday Films Distributor: Warner Bros. Pictures Genre: Drama Durasi: 91 menit
0 komentar:
Posting Komentar